Minggu, 03 April 2011

scenedesmus.sp

 I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Scenedesmus merupakan kelompok mikroalga dan yang paling beragam karena ada yang bersel tunggal, koloni dan bersel banyak. warna hijau dari klorofil a dan b yang sama dalam proporsi sebagai 'tinggi' tanaman serta c klorofil tetapi dilaporkan terdapat di beberapa prasinophyceae; √ U-karoten, dan berbagai karakteristik xanthophylls. Hasil asimilasi berupa amilum yang tersusun dalam kloroplas, kloroplasnya beraneka bentuk dan ukurannya, ada yang seperti mangkok, seperti busa, seperti jala, dan seperti bintang, penyusunnya sama seperti pada tumbuhan tingkat tinggi yaitu amilase dan amilopektin.
Scenedesmus biasanya hidup di air tawar, air laut, air payau tanah – tanah yang basah , ada pula yang hidup di tempat – tempat kering. Pada umumnya melekat pada batuan, dan seringkali muncul kepermukaan apabila air surut merupakan suatu penyusun plankton atau sebagai bentos. Yang bersel besar ada yang hidup di air laut, terutama dekat pantai. Ada jenis chlorophyceae yang hidup pada tanah-tanah yang basah. Bahkan diantaranya ada yang tahan akan kekeringan. Sebagian lainnya hidup bersimbiosis dengan lichenes, dan ada yang intraseluler pada binatang rendah. Sebagian yang hidup di laut merupakan makroalga seperti Ulvales dan siphonales.
Scenedesmus yang hidup di air tawar memiliki sifat kosmopolit, terutama yang hidup di tempat yang terkena cahaya matahari langsung seperti kolam, danau dan genangan air hujan, sungai atau selokan. Alga hijau juga ditemukan dilingkungan semi akuatik yaitu pada batu-batuan dan kulit batang pohon yang lembab (protococcus dan trentepotia. Beberapa anggotanya hidup di air yang mengapung atau melayang. Beberapa jenis ada yang hidup melekat pada tumbuhan atau hewan.
Media alami Scenedesmus dibuat dari bahan-bahan alami, seperti air kelapa. Media alami juga dapat diperoleh dari limbah pembuatan produk tertentu, seperti limbah pengolahan produk kacang kedelai, limbah minuman the. limbah cair tahu dan tapioka. Selain media tersebut diatas, ekstrak tauge juga dapat digunakan sebagai media alami bagi pertumbuhan mikroalga.


1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan paper ini untuk mengetahui Pengaruh Konsentrasi Medium Ekstrak Tauge (Met) Terhadap Pertumbuhan Scenedesmus yang ditinjau dari Klasifikasi dan Morfologi, Habitat, Sistem Reproduksi, Ciri-Ciri Scenedesmus, Pengaruh Konsentrasi MET, Pertumbuhan Sel Scenedesmus.

1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah yang di bahas dalam paper ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Konsentrasi Medium Ekstrak Tauge (Met) Terhadap Pertumbuhan Scenedesmus yang ditinjau dari Klasifikasi dan Morfologi, Habitat, Sistem Reproduksi, Ciri-Ciri Scenedesmus, Pengaruh Konsentrasi MET, Pertumbuhan Sel Scenedesmus.














II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi dan Klasifikasi Scenedesmus
Scenedesmus merupakan mikroalga yang bersifat kosmopolit. Sebagian besar Scenedesmus dapat hidup di lingkungan akuatik seperti perairan tawar dan payau. Scenedesmus juga ditemukan di tanah atau tempat yang lembab. Sel Scenedesmus berbentuk silindris dan umumnya membentuk koloni (Gambar 1). Koloni Scenedesmus terdiri dari 2, 4, 8, atau 16 sel tersusun secara lateral. Ukuran sel bervariasi, panjang sekitar 8--20 µm dan lebar sekitar 3--9 µm. Struktur sel Scenedesmus sederhana. Sel Scenedesmus diselubungi oleh dinding yang tersusun atas tiga lapisan, yaitu lapisan dalam yang merupakan lapisan selulosa, lapisan tengah merupakan lapisan tipis yang strukturnya seperti membran, dan lapisan luar, yang menyelubungi sel dalam koloni. Lapisan luar berupa lapisan seperti jaring yang tersusun atas pektin dan dilengkapi oleh bristles.



Gambar 1. Scenedesmus sp

Scenedesmus dapat dibagi menjadi 10 divisi dan 8 divisi algae merupakan bentuk unicellulair. Dari 8 divisi algae, 6 divisi telah digunakan untuk keperluan budidaya perikanan sebagai pakan alami. Setiap divisi mempunyai karakteristik yang ikut memberikan andil pada kelompoknya, tetapi spesies-spesiesnya cukup memberikan perbedaan-perbedaan dari lainnya. Ada 4 karakteristik yang digunakan untuk membedakan divisi mikro algae yaitu ; tipe jaringan sel, ada tidaknya flagella, tipe komponen fotosintesa, dan jenis pigmen sel. Selain itu morfologi sel dan bagaimana sifat sel yang menempel berbentuk koloni / filamen adalah merupakan informasi penting didalam membedakan masing-masing group.
Menurut Watanabe, et.al., (1978) scenedesmus termasuk dalam kelas Chlorophyceae dan family Scenedesmaceae. Scenedesmus dimorphus diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Cholococcales
Famili : Scenedesmaceae
Species : Scenedesmus dimorphus
2.2 Ciri – Ciri Scenedesmus
Ciri umum Scenedesmus Berwarna hijau terang, kosmopolitan (air tawar, payau, asin. Dari oligotrof sampai eutrof, memiliki anggota terbanyak, eukariot (umumnya uninucleate), ada yang unisel, koloni dan filamen, pigmen yang dimiliki: klorofil a,b, karoten (ֶα,β,γ) dan beberapa xantofil, dinding sel terbuat dari selulosa atau polimer xylosa atau mannosa atau hemiselulosa. Sedangkan ciri-ciri khusus Scenedesmus itu sendiri sebagian anggota memiliki flagel -à dapat bergerak sedikit, bentuk flagel isokontae, jumlah dan letak sangat bervariasi (apikal, subapikal, lateral).
2.3 Peranan Scenedesmus
Berperan sebagai produsen dalam ekosistem. Berbagai jenis alga yang hidup bebas di air terutama yang tubuhnya bersel satu dan dapat bergerak aktif merupakan penyusun pitoplankton. Sebagian fitolankton adalah alga hijau, pigmen klorofil yang dimilikinya aktif melakukan fotosintesis sehingga alga hijau merupakan produsen utama dalam ekosistem perairan. Peranan Scenedesmus bagi kehidupan manusia antara lain, digunakan dalam penyelidikan metabolisme di laboratorium. Juga dimanfaatkan sebagai bahan untuk obat-obatan, bahan kosmetik dan bahan makanan. Serbuk Chlorella dalam industri obat-obatan dimasukkan dalam kapsul dan dijual sebagai suplemen makanan dikenal dengan “Sun Chlorella”. Pengembangannya saat ini di kolam-kolam (contohnya di Pasuruan).
Scenedesmus mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: Produsen primer (penyedia oksigen), Sebagai alternatif bahan pangan bagi astronot, terutama spesies chlorella (karena kandungan chlorelinnya banyak mengandung vitamin E), Sumber pakan alami bagi ikan dan organism air lain (terutama benih), Beberapa diantaranya dibudidayakan sebagai sumber pakan dip anti pembenihan ikan, contoh: chlorella, dunaliella, tetraselmis, dan scenedesmus. Jenis tertentu dimanfatkan sebagai suplemen makanan bagi manusia dan sebagai pengawet makanan, Twtraselmis dan chlorella dikenal sebagai probiotik.
2.4 Sistem Reproduksi
Scenedesmus dapat melakukan reproduksi aseksual maupun seksual. Reproduksi aseksual terjadi melalui pembentukan autokoloni, yaitu setiap sel induk membentuk koloni anakan yang dilepaskan melalui sel induk yang pecah terlebih dahulu. Beberapa spesies Scenedesmus dapat melakukan reproduksi seksual dengan pembentukan zoospora biflagel dan isogami.
Karbohidrat, protein, dan lemak bila diuraikan menjadi monomer-monomer penyusunnya, pada akhirnya akan menjadi asetil KoA. Selanjutnya, asetil KoA masuk ke dalam siklus Krebs, dilanjutkan dengan rantai transpor elektron yang akan menghasilkan ATP. Energi yang terkandung dalam ATP tersebut digunakan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel Scenedesmus.
2.5 Macam – Macam Scenedesmus
1. Scenedesmus bersel tunggal tidak bergerak
• Chlorella.
Banyak ditemukan sebagai plankton air tawar. Ukuran tubuhnya mikroskopis, bentuk bulat, serta berkembangbiak dengan pembelahan sel. Chlorella sebagai Makanan Suplemen
• Chlorococcum.
Tubuh bersel satu, tempat hidup air tawar, bentuk bulat telur, setiap sel memiliki satu kloroplas bentuk mangkuk. Reproduksi dengan membentuk zoospora (secara aseksual).
2. Scenedesmus bersel tunggal dapat bergerak
• Chlamidomonas.
Bentuk sel bulat telur, memiliki 2 flagel sebagai alat gerak, terdapat 1 vacuola, satu nukleus dan kloroplas. Pada kloroplas yang bentuknya seperti mangkuk terdapat stigma (bintik mata) dan pirenoid sebagai tempat pembentukan zat tepung.
3. Scenedesmus berbentuk koloni tidak bergerak
• Hydrodictyon.
Hydrodictyon banyak ditemukan di dalam air tawar dan koloninya berbentuk seperti jala. Ukuran cukup besar sehingga dapat dilihat dengan mata telanjang. Reproduksi vegetatif dengan zoospora dan fragmentasi. Fragmentasi dilakukan dengan cara melepas sebagian koloninya dan membentuk koloni baru. Sedangkan reproduksi generatif dengan konjugasi.
4. Scenedesmus berbentuk koloni dapat bergerak
• Volvox.
Volvox ditemukan di air tawar, koloni berbentuk bola jumlah antara 500 sampai 5000 buah. Tiap sel memiliki 2 flagel dan sebuah bintik mata. Reproduksi aseksual dengan fragmentasi dan seksual dengan konjugasi sel-sel gamet.
5. Scenedesmus berbentuk benang
• Spyrogyra.
Ganggang ini didapatkan di sekitar kita yaitu di perairan. Bentuk tubuh seperti benang, dalam tiap sel terdapat kloroplas berbentuk spiral dan sebuah inti. Reproduksi vegetatif dengan fragmentasi, sedangkan reproduksi seksual dengan konjugasi.

• Oedogonium.
Ganggang ini berbentuk benang, ditemukan di air tawar dan melekat di dasar perairan. Reproduksi vegetatif dilakukan oleh setiap sel menghasilkan sebuah zoospora yang berflagela banyak. Reproduksi generatif adalah salah satu benang membentuk alat kelamin jantan (antiridium) dan menghasilkan gamet jantan (spermatozoid). Pada benang yang lain membentuk alat kelamin betina yang disebut Oogonium. Oogonium akan menghasilkan gamet betina (ovum). Sperma tozoid membuahi ovum dan terbentuk zigot. Zigot akan tumbuh membentuk individu
6. Scenedesmus berbentuk lembaran
• Ulva.
Ganggang ini ditemukan di dasar perairan laut dan menempel di dasar, bentuk seperti lembaran daun. Berkembangbiak secara vegetatif dengan menghasilkan spora dan spora tumbuh menjadi Ulva yang haploid (n), Ulva haploid disebut gametofit haploid. Kemudian secara generatif menghasilkan gamet jantan dan gamet betina. Pertemuan gamet jantan dan gamet betina akan menghasilkan zigot (Z2n). Zigot berkembang menjadi Ulva yang diploid disebut sporofit. Selanjutnya sporofit membentuk spora yang haploid setelah mengalami meiosis. Selanjutnya mengalami mitosis dan menghasilkan gametofit haploid
• Chara.
Chara hidup di air tawar terutama melekat pada batu-batuan. Bentuk talus seperti tumbuhan tinggi, menyerupai batang, yang beruas-ruas dan bercabang-cabang, berukuran kecil. Pada ruasnya terdapat nukula dan globula. Di dalam nukula terdapat arkegonium dan menghasilkan ovum. Di dalam globula terdapat anteridium yang memproduksi spermatozoid. Spermatozoid akan membuahi ovum dan menghasilkan zigospora yang berdinding sel. Pada reproduksi secara vegetatif dilakukan dengan cara fragmentasi.

2.6 Susunan Tubuh Scenedesmus
Struktur tubuh Scenedesmus bervariasi baik dalam ukuran, bentuk maupun susunanya. Untuk mencakup sejumlah besar variasi tersebut, scenedesmus dapat dikelompokkan sebagai berikut: sel tunggal (uniseluler) dan motil (ex:Chlamydomonas), Srl tunggal uniseluler dan non motil (ex:Chlorella), Sel senobium (koloni yanh mempunyai jumlah sel tertentu sehingga mempunyai bentuk yang relatif tetap), koloni tak baraturan (ex:tetraspora), filamen (ada yang bercabang dan tidak bercabang), heterotrikus (filamen barcabang bentuknya terbagi menjadi prostate dan erect), foliaceus atau parenkimatis (filamen yang pembelahan sel vegetatif terjadi lebih dari satu bidang., tubular (talus yang memiliki banyak inti tanpa sekat melintang)















III. PEMBAHASAN
3.1 Metode Penelitian
Sampel Scenedesmus Meyen yang digunakan dalam penelitian berasal dari Koleksi Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA-UI hasil isolasi dari Subang, Jawa Barat. Penelitian dilakukan di Ruang Kultur Alga, Departemen Biologi FMIPA UI dengan kondisi rak kultur, yaitu suhu 22 – 230 C, kelembapan 78 – 87 %, dan intensitas cahaya 1025 – 2620 lux. Penelitian bersifat eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (Complete Random Design) yang terdiri atas delapan macam perlakuan dan tiga ulangan untuk setiap perlakuan. Perlakuan yang diberikan, yaitu.
1. Perlakuan I, MET konsentrasi 1%;
2. Perlakuan II, MET konsentrasi 2%;
3. Perlakuan III, MET konsentrasi 3%;
4. Perlakuan IV, MET konsentrasi 4%;
5. Perlakuan V, MET konsentrasi 5%;
6. Perlakuan VI, MET konsentrasi 6%;
7. Perlakuan VII, Medium Basal Bold (MBB)(kontrol positif);
8. Perlakuan VIII, Akuabides (kontrol negatif).
Penelitian dimulai dengan pembuatan medium perlakuan yang terdiri dari Medium Basal Bold (MBB) dan Medium Ekstrak tauge (MET). Pembuatan MBB sesuai dengan Nichols 1973 [19], sedangkan Proses pembuatan MET diawali dengan proses pengecambahan biji kacang hijau sehingga dihasilkan tauge. Biji kacang hijau dicuci hingga bersih kemudian direndam selama 12 jam pada suhu ruang. Biji kacang hijau ditiriskan dan disebarkan pada wadah yang berpori, kemudian dikecambahkan selama 48 jam. Selama proses perkecambahan, dilakukan penyiraman sebanyak 4—5 kali sehari.
Tahap pembuatan MET dilanjutkan dengan membuat larutan stok (b/v).
1. Sebelum diolah, tauge kacang hijau seberat 100 g dicuci di bawah air mengalir untuk membersihkannya.
2. Tauge tersebut kemudian direbus dalam 500 ml akuades yang mendidih selama 1 jam. Air rebusan tauge berupa ekstrak disaring menggunakan kain kassa dan kapas agar terpisah dari tauge.
3. Selanjutnya, ekstrak tauge disterilisasi secara bertahap (tyndalisasi) pada suhu 100 C selama 1 jam, dilakukan tiga kali berturut-turut dengan selang waktu 24 jam. Media perlakuan yang terdiri dari MET dengan konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, dan 6% dibuat dari larutan stok (v/v). Konsentrasi media 1% dibuat dengan menambahkan 1 ml stok MET dengan 99 ml akuabides.
4. Selanjutnya, untuk MET 2%, 3%, 4%, 5%, dan 6% sebanyak 2 ml, 3 ml, 4 ml, 5ml, dan 6 ml stok MET dicampurkan dengan akuabides sebanyak 98, 97, 96, 95, dan 94 ml. Selanjutnya dilakukan pemurnian kultur Scenedesmus menggunakan metode pengenceran. Sebanyak 1 ml biakan Scenedesmus dari kultur koleksi dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml MBB kemudian dicampur hingga homogen.
5. Selanjutnya dari kultur tersebut diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi kedua. Proses tersebut dilakukan hingga tabung reaksi keempat.
6. Kultur selanjutnya diletakkan di rak kultur dan diinkubasi selama 30 hari dengan fotoperiodisitas 14 jam terang dan 10 jam gelap. Kultur Scenedesmus yang tumbuh dengan baik dan murni (tanpa kontaminan) diperbanyak lagi secara bertahap hingga didapatkan 100 ml kultur murni Scenedesmus.
Sebelum digunakan sebagai inokulum, biakan kultur persediaan diremajakan pada media perlakuan. Selanjutnya biakan kultur diletakkan di rak kultur dan diinkubasi dengan fotoperiodisitas 14 jam terang dan 10 jam gelap. Sel yang telah berada dalam tahap pertumbuhan yang seragam digunakan sebagai inokulum.
Penginokulasian sel Scenedesmus dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Kerapatan sel yang diinokulasikan sebesar 50.000 sel/ml disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 15 menit untuk memisahkan biomassa mikroalga Scenedesmus dari media.
2. Supernatan dibuang dan endapan sel diinokulasikan ke dalam 60 ml media perlakuan. Selanjutnya labu kultur perlakuan diletakkan di rak kultur dan diberi pencahayaan dari dua buah lampu TL masing-masing berkekuatan 36 watt. Lampu diletakkan sejajar di samping kiri dan kanan rak kultur dengan jarak kurang lebih 10 cm dari labu kultur dengan fotoperiodisitas 14 jam terang dan 10 jam gelap.
3. Penghitungan jumlah sel untuk mendapatkan data kerapatan sel dilakukan setiap 24 jam sekali mulai t0 (hari ke-0) hingga t10 (hari ke-10).
4. Sebanyak 1 ml kultur diambil secara aseptik dari tiap-tiap labu kultur menggunakan pipet Pasteur dan diletakkan ke dalam botol sampel.
5. Selanjutnya, kultur diletakkan ke dalam kamar hitung Improved Neubauer. Sel dihitung dengan bantuan mikroskop. Sel Scenedesmus yang dihitung adalah seluruh sel yang hidup, berwarna hijau, baik dalam bentuk uniseluler atau koloni.
Data jumlah sel yang diperoleh dari hasil penghitungan jumlah sel menggunakan kamar hitung Improved Neubauer pada Haemacytometer, selanjutnya digunakan untuk menghitung kerapatan sel. Kerapatan sel Scenedesmus dihitung dengan rumus k = n x p x 2500, dengan k = kerapatan sel Scenedesmus (sel/ml), n = jumlah total sel dalam 4 kotak kamar hitung Improved Neubauer (white), dan p adalah tingkat pengenceran yang digunakan [20]. Laju pertumbuhan dihitung menggunakan rumus Hirata, yaitu k = log 10 (Nt - N0) / (t) x 3,22 dengan k = laju pertumbuhan, Nt = kerapatan sel pada waktu t (sel/ml), N0 = kerapatan sel pada saat awal inokulasi, dan t = waktu (hari).
Nilai pH kultur setiap perlakuan diukur setiap 24 jam sekali pada kesempatan yang bersamaan dengan dilakukannya penghitungan jumlah sel Scenedesmus. Pengukuran pH dilakukan dengan cara menyelupkan kertas pH ke dalam sampel kultur yang akan dihitung hingga seluruh warna indikator pada ujung kertas pH terbasahi media, kemudian mencocokkan warna yang terbentuk pada kertas pH dengan warna pada kemasan pH indikator. Pengukuran kadar klorofil dilakukan pada hari pertama (t0) dan hari terakhir (t10). Pengukuran dilakukan dengan cara sebagai berikut. Sebanyak 10 ml sampel kultur disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang sedangkan endapannya diambil. Endapan biomassa sel Scenedesmus ditambahi aseton 90% sehingga volume akhir menjadi 10 ml lalu dimasukkan kedalamnya beberapa butir glass bead. Penggunaan glass bead bertujuan untuk memecah dinding sel Scenedesmus. Suspensi tersebut kemudian divorteks selama 20 menit dan disentrifugasi kembali. Supernatan kemudian diambil untuk diperiksa menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 663 nm dan 645 nm, sedangkan endapannya dibuang. Nilai absorbansi yang didapat kemudian dimasukkan ke dalam rumus penghitungan kadar klorofil berdasarkan Meeks.
Kondisi lingkungan ruang kultur dicatat setiap hari selama penelitian berlangsung. Pencatatan tersebut meliputi suhu ruang (ºC) diukur dengan termometer udara, kelembapan ruang kultur (%) diukur dengan higrometer, dan intensitas cahaya (lux) di sekitar rak kultur diukur dengan luxmeter. Data kerapatan sel setelah 10 hari pengamatan terlebih dahulu ditransformasikan ke dalam bentuk log x untuk memperkecil kisarannya. Data tersebut kemudian diuji dengan uji normalitas Khi-kuadrat dan uji homogenitas Bartlet. Hasil uji tersebut menyimpulkan bahwa data penelitian tidak berdistribusi normal dan homogen. Pengujian dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara konsentrasi media perlakuan terhadap rerata kerapatan sel. Hasil uji menunjukkan bahwa konsentrasi Medium Ekstrak Tauge (MET) berpengaruh terhadap kerapatan sel Scenedesmus. Data dianalisis lebih lanjut dengan uji perbandingan berganda untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rerata kerapatan sel antar perlakuan.
3.2 Kerapatan Sel Scenedesmus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kultur yang ditumbuhkan dalam MET, MBB, dan akuabides menghasilkan rerata kerapatan sel yang berbeda. Hal tersebut menandakan bahwa media perlakuan yang digunakan berpengaruh terhadap rerata kerapatan sel Scenedesmus. Rerata kerapatan sel Scenedesmus selama penelitian pada masing-masing media perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.
Pengaruh media perlakuan terhadap kerapatan sel Scenedesmus juga dibuktikan dengan uji statistik. Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap rerata kerapatan sel (log x) selama 10 hari pengamatan (Gambar 2) menunjukkan adanya pengaruh media perlakuan terhadap rerata kerapatan sel Scenedesmus. Hasil uji perbandingan berganda, menunjukkan perbedaan sangat nyata antara medium akuabides dengan MET 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, dan MBB. Perbedaan nyata terjadi antara MET 5% dengan MET 2% dan MET 1%, MET 1% dengan MET 2% dan MBB, MBB dengan MET 3%. Tidak terdapat perbedaan nyata antara MET 6% dengan MET 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, dan MBB; antara MET 5% dengan MET 3%, 4%, dan MBB; antara MET 1% dengan MET 3% dan MET 4%; antara MET 2% dengan MET 3%, MET 4%, dan MBB; antara MBB dengan MET 4%; serta antara MET 3% dengan MET 4%.
Tabel 1. Data rerata kerapatan sel Scenedesmus dalam media perlakuan MET, MBB, dan akuabides.
Perlakuan Rerata kerapatan sel mikroalga marga Scenedesmus (sel/ml) hari (t) ke-
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
MET 1% 53.703 31.458 90.208 243.333 178.125 472.500 693.750 918.750 812.830 776.247 741.310
MET 2% 48.286 63.958 47.542 321.667 367.500 503.750 1.187.500 1.348.962 1.122.018 1.174.897 1.096.478
MET 3% 48.929 43.541 108.750 331.667 481.875 1.485.000 1.627.500 2.353.750 2.396.250 1.862.087 1.621.810
MET 4% 47.188 47.083 60.764 331.667 823.125 1.268.750 1.405.883 3.981.071 3.019.951 2.570.395 2.454.708
MET 5% 47.857 35.833 50.000 142.500 312.500 518.750 490.000 577.500 898.750 541.250 501.187
MET 6% 50.357 37.083 50.000 139.167 225.000 318.750 428.750 512.861 660.693 616.595 537.031
BBM (+) 52.480 87.096 144.543 436.515 630.957 1.174.897 1.103.292 851.138 776.247 691.830 575.439
Akuabides 47.863 26.915 53.703 87.096 29.512 26.915 19.952 16.218 15.848 14.125 10.471
Keterangan = Rerata kerapatan sel Scenedesmus saat peak
Rerata kerapatan sel (Tabel 1) meningkat selama 10 hari pengamatan, kecuali pada kultur yang ditumbuhkan dalam akuabides. Peningkatan rerata kerapatan sel tersebut menandakan bahwa sel-sel Scenedesmus dapat beradaptasi dan tumbuh dalam MET maupun MBB. Hal tersebut menandakan nutrien dalam MET dapat diserap dan dimanfaatkan oleh sel Scenedesmus untuk pertumbuhannya. Media perlakuan MET mengandung nutrien organik seperti karbohidrat, protein, dan lemakyang dibutuhkan sebagai sumber energi bagi Scenedesmus. Karbohidrat, protein, dan lemak bila diuraikan menjadi monomer-monomer penyusunnya, pada akhirnya akan menjadi asetil KoA. Selanjutnya, asetil KoA masuk ke dalam siklus Krebs, dilanjutkan dengan rantai transpor elektron yang akan menghasilkan ATP. Energi yang terkandung dalam ATP tersebut digunakan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel Scenedesmus. Media perlakuan MET juga mengandung nutrien anorganik seperti K, P, Ca, Mg, Na, Fe, Zn, Mn, dan Cu.
Nutrien anorganik yang tergolong makronutrien, yaitu K, P, Ca, Mg, dan Na dibutuhkan oleh sel Scenedesmus sebagai komponen penyusun sel. Mikronutrien seperti Fe, Zn, Mn, dan Cu dibutuhkan oleh sel baik sebagai kofaktor enzim, maupun sebagai komponen pembentuk klorofil. Emerson dan Lewis (1939) melaporkan bahwa Mn, Zn, Cu, Mo, B, Ti, Cr, dan Co yang terdapat dalam media kultur akan mengefektifkan fotosintesis pada Chlorella pyrenoidosa. Fotosintesis yang berlangsung efektif akan mempengaruhi produk yang dihasilkan. Kemungkinan yang sama juga terjadi pada kultur Scenedesmus dalam penelitian ini.
Di dalam MET juga terdapat beberapa vitamin (tiamin, riboflavin, piridoksin, niasin, triptofan, asam pantotenat, folasin, vitamin C, dan K). Vitamin berperan sebagai growth factor dalam pertumbuhan alga. Droop (1962) menyatakan bahwa vitamin yang dibutuhkan bagi pertumbuhan alga, antara lain tiamin, kobalamin, dan biotin. Tiamin berfungsi dalam reaksi dekarboksilasi dan transketolase. Kobalamin berfungsi untuk sintesis deoksiribosa. Biotin berfungsi dalam sintesis asam lemak, dekarboksilasi, dan fiksasi karbondioksida.
Peningkatan rerata kerapatan sel juga dapat dilihat dari perubahan warna kultur. Warna kultur mikroalga merupakan warna pigmen utama yang terdapat dalam sitoplasma sel, yaitu klorofil. Pada pengamatan hari ke-0 (saat inokulasi), kultur Scenedesmus yang ditumbuhkan dalam MET, MBB, dan akuabides terlihat bening (Gambar 3A). Kondisi tersebut disebabkan karena jumlah sel inokulum belum sebanding dengan volume media.
Selain itu, perbandingan antara volume media dengan kadar klorofil belum dapat memberikan warna pada kultur. Pada hari ke-0, kadar klorofil juga belum terdeteksi dengan alat Spectronic 20 Milton Roy Company. Pada hari ke-3 pengamatan, kultur Scenedesmus yang ditumbuhkan dalam MET dan MBB terlihat berwarna hijau muda (Gambar 3B). Pada pengamatan hari ke-6 (Gambar 3C), kultur dalam MBB, MET 1%, MET 2%, dan MET 3% berwarna hijau muda, kultur dalam MET 4% berwarna hijau apel, dan kultur dalam MET 5% dan MET 6% berwarna hijau lumut. Pada pengamatan hari ke-10 (Gambar 3D), kultur dalam MBB dan MET 1% berwarna hijau muda, kultur dalam MET 2%, dan MET 3% berwarna hijau apel dan kultur dalam MET 4%, 5%, 6% berwarna hijau tembaga (berdasarkan panduan warna Castell-Polychromes 9216). Perubahan warna hijau kultur mulai dari hijau muda hingga hijau tembaga menunjukkan bahwa populasi sel meningkat seiring dengan bertambahnya umur kultur.
Tabel 2. Data nilai kadar klorofil kultur Scenedesmus pada pengamatan hari ke-10
Media perlakuan Total klorofil (mg/L) Klorofil a (mg/L) Klorofil b (mg/L)
MET 1% 1,70212 0,4066 1,29796
MET 2% 2,91944 0,87788 2,04632
MET 3% 3,08074 0,92524 2,16052
MET 4% 3,46424 0,94301 2,52662
MET 5% 8,02224 1,98819 6,04602
MET 6% 10,18896 2,33298 7,87068
MBB 1,15702 0,41041 0,74866
Akuabides - - -
Keterangan: - = tidak terdeteksi
Kultur yang ditumbuhkan dalam MET 6% menghasilkan klorofil dengan kadar tertinggi, yaitu sebesar 10,18896 mg/l. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena unsur-unsur komponen pembentuk klorofil tersedia dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan MET konsentrasi yang lebih rendah (1%, 2%, 3%, 4%, dan 5%). Media perlakuan MET dan MBB mengandung nutrien yang diperlukan untuk pembentukan klorofil, antara lain N, Mg, Fe, Mn, dan Zn. Asam amino glisin dan derivatnya yaitu asam -amino levulinat (ALA) merupakan prazat molekul klorofil. Magnesium (Mg) merupakan komponen klorofil. Besi (Fe) berperan dalam sintesis klorofil dan sintesis protein-protein penyusun kloroplas. Mangan (Mn) merupakan komponen struktural membran kloroplas. Seng (Zn) diperlukan dalam proses pembentukan klorofil dan mencegah kerusakan molekul klorofil.
Rerata kerapatan sel tertinggi saat peak dicapai oleh kultur dalam MET 4% (3.981.071 sel/ml). Rerata kerapatan sel lebih rendah dicapai oleh kultur dalam MET 3% (2.396.250 sel/ml), MET 2% (1.348.962 sel/ml), MBB (1.174.897 sel/ml), MET 1% (918.750 sel/ml), MET 5% (898.750 sel/ml), MET 6% (660.693 sel/ml). Rerata kerapatan sel paling rendah dicapai oleh kultur dalam akuabides, yaitu sebesar 87.096 sel/ml (Tabel 1). Waktu yang diperlukan untuk mencapai peak bervariasi antara 3--8 hari. Hasil kerapatan sel (sel/ml) yang berbeda-beda tersebut disebabkan oleh perbedaan konsentrasi MET.
Data tersebut diatas menunjukkan bahwa konsentrasi MET yang optimum untuk pertumbuhan sel Scenedesmus terdapat pada kisaran 2--4%. Kerapatan sel pada MET 2--4% lebih tinggi dibandingkan kerapatan sel dalam MBB (kontrol positif). Medium Ekstrak Tauge 4% menghasilkan kerapatan sel tertinggi (3.981.071 sel/ml) saat peak. Kemungkinan konsentrasi dan kelengkapan komposisi nutrien yang terlarut dalam MET 4% sesuai dengan kebutuhan sel Scenedesmus sehingga Scenedesmus tumbuh baik. Hasil penelitian didukung penelitian Chrismadha & Nofdianto (1994) yang memperlihatkan adanya suatu konsentrasi optimum untuk mencapai pertumbuhan mikroalga yang maksimum.
Medium Ekstrak Tauge 1% menghasilkan kerapatan sel rendah (918.750 sel/ml) dibandingkan dengan MET 2%, 3%, dan 4% (Tabel 1). Konsentrasi nutrien di dalam MET 1% semakin berkurang akibat pengenceran. Hal tersebut kemungkinan menyebabkan konsentrasi dan kelengkapan komposisi nutrien yang ada dalam MET 1% tidak mencukupi kebutuhan sel Scenedesmus. Berdasarkan O’Kelley tahun 1968, kekurangan unsur N dan Mg (makronutrien) mempengaruhi pembentukan klorofil. Sementara itu, kekurangan mikronutrien seperti Mn dapat mempengaruhi proses fotosintesis karena Mn merupakan aktivator enzim pada reaksi terang fotosintesis. Hal tersebut akan mempengaruhi laju fotosintesis. Laju fotosintesis menentukan kuantitas produk (karbohidrat) yang dihasilkan.
Karbohidrat hasil fotosintesis oleh mikroalga selain digunakan untuk pertumbuhan juga untuk respirasi selular. Apabila hasil fotosintesis berkurang, maka karbohidrat yang tersisa setelah sebagian digunakan dalam proses respirasi tidak mencukupi untuk pertumbuhan sel.
Rerata kerapatan sel lebih rendah pada konsentrasi MET 5% (898.750 sel/ml) dan MET 6% (660.693 sel/ml). Hal tersebut kemungkinan terjadi karena nutrien yang terkandung dalam konsentrasi media tersebut, melebihi nutrien yang seharusnya dibutuhkan oleh Scenedesmus. Selain itu, konsentrasi nutrien dalam media mempengaruhi transpor nutrient ke dalam sel Scenedesmus. Menurut Fogg & Thake (1987), laju penyerapan nutrien mengikuti persamaan sebagai berikut. V = Vmax . S / Ks + S, dengan V = Laju penyerapan nutrien, Vmax = Laju maksimum, S = konsentrasi nutrien, dan Ks = suatu konstanta numerik yang ekuivalen dengan konsentrasi nutrien dimana V = ½ Vmax.
Berdasarkan persamaan tersebut, semakin tinggi konsentrasi nutrien maka laju penyerapan nutrien semakin besar. Pada MET 5% dan 6% laju penyerapan nutrien semakin besar sehingga nutrien di dalam sel berlebih. Kelebihan nutrient tertentu tidak menyebabkan gangguan yang berarti pada metabolisme sel Scenedesmus. Akan tetapi, kelebihan nutrient yang termasuk ke dalam logam seperti Cu dan Mn dapat mengganggu metabolisme sel. Kadar Cu yang tinggi dapat mengganggu transpor elektron pada fotosintesis [28]. Kadar Cu tersebut kemungkinan mempengaruhi pembentukan NADPH yang dibutuhkan untuk mereduksi CO2 pada siklus Calvin. Sebaliknya, kerapatan sel saat peak dalam MET 4%, 3%, dan 2% lebih tinggi dibandingkan pada MBB. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut kelengkapan nutrien di dalam MET tersebut, mendukung pertumbuhan Scenedesmus sehingga menghasilkan kerapatan sel yang tinggi. Medium Basal Bold hanya mengandung senyawa anorganik, sedangkan MET mengandung senyawa anorganik, organik dan beberapa vitamin.Kultur dalam media perlakuan akuabides menghasilkan kerapatan sel terendah (87.096 sel/ml) pada saat peak. Hal tersebut terjadi karena dalam akuabides murni tidak terdapat nutrien yang sudah hilang akibat proses penyulingan. Proses penyulingan dua kali, menghasilkan akuabides dengan tingkat kemurnian 99% dan terbebas dari kontaminan seperti mikroorganisme, senyawa organik, dan anorganik. Akibatnya, sel-sel Scenedesmus yang diinokulasikan ke dalam akuabides sejak hari ke-0 hingga hari ke-10 tidak mendapatkan nutrien yang dibutuhkan bagi pertumbuhan sehingga cenderung menurun kerapatannya (Tabel 1).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan sel Scenedesmus dalam MET tidak sebanding dengan kadar klorofil yang dikandungnya. Kadar klorofil yang tinggi tidak diikuti dengan kerapatan sel yang tinggi pula. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Rachmayanti (2004), yaitu kerapatan sel yang tinggi tidak selalu menghasilkan klorofil yang tinggi. Kemungkinan yang terjadi adalah kadar klorofil dalam tiap individu sel Scenedesmus pada MET 6% lebih banyak dibandingkan kadar klorofil dalam individu sel Scenedesmus pada konsentrasi yang lebih rendah. Hal tersebut, terlihat dari warna sel Scenedesmus yang ditumbuhkan dalam MET 6% berwarna lebih hijau dibandingkan dengan sel Scenedesmus dalam MET konsentrasi yang lebih rendah. Media perlakuan MET 6% menghasilkan kadar klorofil yang tinggi, karena unsur-unsur pembentuk klorofil tersedia dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada MET konsentrasi lebih rendah, akan tetapi kerapatan sel paling rendah.Kemungkinan hal tersebut berkaitan dengan penyerapan nutrien-nutrien pembentuk molekul klorofil seperti Fe dan Mg yang tergolong nutrien logam.
Menurut Topperwien (2005) penyerapan nutrien logam dipengaruhi oleh permukaan sel mikroalga. Permukaan sel mikroalga memiliki berbagai gugus fungsional yang memiliki afinitas tinggi bagi ion-ion logam sehingga mempermudah penyerapan melewati membran sel. Sementara itu, nutrien non logam yang konsentrasinya cukup tinggi dalam MET 6% tetapi dibutuhkan dalam pertumbuhan dan pembelahan sel agak sulit diserap oleh sel. Akibatnya dalam MET 6% proses sintesis klorofil oleh sel lebih optimal dibandingkan dengan pertumbuhan dan proses pembelahan sel.
Data rerata kerapatan sel Scenedesmus selama 10 hari pengamatan ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma. Data yang telah ditransformasikan tersebut kemudian digunakan untuk membuat kurva pertumbuhan (Gambar 2). Kurva pertumbuhan pada media perlakuan MET dan MBB menunjukkan kecenderungan yang hampir sama, hanya terdapat perbedaan dalam waktu pencapaian kerapatan sel pada saat peak. Media perlakuan akuabides menunjukkan kecenderungan yang berbeda dengan media perlakuan MET dan MBB.
Kurva pertumbuhan Scenedesmus pada media perlakuan MET 1%, 3%, 5%, 6%, dan akuabides memperlihatkan adanya fase adaptasi (Gambar 2). Rerata kerapatan sel pada hari ke-1 yang menurun dibandingkan dengan jumlah sel inokulum diasumsikan sebagai fase adaptasi. Populasi sel dalam MET 2% dan 4% kemungkinan juga mengalami adaptasi, tetapi berlangsung kurang dari 24 jam sehingga tidak teramati pada pengamatan. Fase adaptasi pada kultur yang ditumbuhkan dalam MET terjadi karena media perlakuan (MET) berbeda dengan media pemeliharaan (MBB). Hal tersebut sesuai dengan Stanier dkk. (1970), yang menyatakan bahwa fase adaptasi biasanya terjadi ketika inokulum diinokulasikan ke dalam media baru yang berbeda komponen kimiawinya. Sel-sel yang diinokulasi mula-mula melakukan perubahan kimiawi dan fisiologis untuk menyesuaikan kembali aktivitas metabolismenya agar dapat tumbuh dalam media baru.
Kurva dan laju pertumbuhan di dalam media perlakuan MBB tidak memperlihatkan fase adaptasi. Hal tersebut mungkin disebabkan fase adaptasi berlangsung kurang dari 24 jam sehingga tidak teramati pada pengamatan. Pada hari ke-1 rerata kerapatan sel di dalam MBB mengalami peningkatan. Selain itu, tidak adanya fase adaptasi juga disebabkan media perlakuan (MBB) sama dengan media pemeliharaan. Menurut Madigan dkk. (2000) inokulasi sejumlah sel mikroorganisme ke dalam media dan kondisi lingkungan yang sama seperti pada pemeliharaan kultur sebelumnya, menyebabkan fase adaptasi tidak terlihat. Oleh karena itu, dalam kurva pertumbuhan, kultur lebih cepat memasuki fase eksponensial.
Fase eksponensial pada media perlakuan MET terlihat pada hari ke-2 hingga hari ke-8. Sedangkan pada media perlakuan MBB fase ekponensial terlihat pada hari ke-1 hingga hari ke-5. Pada fase eksponensial terjadi peningkatan rerata kerapatan sel. Proses perbanyakan sel pada saat memasuki fase eksponensial berlangsung cepat sehingga populasi sel bertambah. Pertambahan populasi sel Scenedesmus yang pesat tersebut kemungkinan terjadi karena kandungan nutrien di dalam MET dan MBB masih terdapat dalam konsentrasi yang tinggi sehingga proses pertumbuhan dan pembelahan sel berlangsung cepat.
Kurva pertumbuhan memperlihatkan kultur mencapai saat peak yang berbeda pada masing-masing media perlakuan. Jumlah sel dalam media perlakuan MET 1%, 2%, dan 4% mencapai peak pada hari ke-7. Jumlah sel dalam MET 3%, 5%, dan 6% mencapai peak pada hari ke-8. Dalam media perlakuan MBB jumlah sel mencapai peak pada hari ke-5. Jumlah sel di dalam MBB mencapai waktu peak tercepat disebabkan karena MBB mengandung mineral-mineral anorganik dalam bentuk ion yang lebih mudah diserap oleh sel dibandingkan dengan mineral di dalam MET yang kompleks karena berbentuk persenyawaan. Selain itu, sel Scenedesmus juga lebih mudah memanfaatkan mineral-mineral anorganik tersebut bagi pertumbuhannya.
Setelah mencapai peak, rerata kerapatan sel mulai menurun, yang menandakan kultur mulai memasuki fase stasioner. Fase stasioner pada kultur mikroalga berkaitan dengan berkurangnya sejumlah besar nutrien dalam media dan akumulasi senyawa-senyawa beracun sisa metabolisme. Selain itu, penurunan terjadi akibat berkurangnya intensitas cahaya yang diterima oleh Scenedesmus akibat adanya fenomena pembentukan bayangan (fenomena self-shading) oleh sel-sel mikroalga tersebut dalam kultur.














IV. KESIMPULAN
1. Scenedesmus merupakan kelompok mikroalga dan yang paling beragam karena ada yang bersel tunggal, koloni dan bersel banyak. warna hijau dari klorofil a dan b yang sama dalam proporsi sebagai 'tinggi' tanaman serta c klorofil tetapi dilaporkan terdapat di beberapa prasinophyceae; √ U-karoten, dan berbagai karakteristik xanthophylls. Hasil asimilasi berupa amilum yang tersusun dalam kloroplas, kloroplasnya beraneka bentuk dan ukurannya, ada yang seperti mangkok, seperti busa, seperti jala, dan seperti bintang, penyusunnya sama seperti pada tumbuhan tingkat tinggi yaitu amilase dan amilopektin.
2. Ciri umum Scenedesmus Berwarna hijau terang, kosmopolitan (air tawar, payau, asin. Dari oligotrof sampai eutrof, memiliki anggota terbanyak, eukariot (umumnya uninucleate), ada yang unisel, koloni dan filamen, pigmen yang dimiliki: klorofil a,b, karoten (ֶα,β,γ) dan beberapa xantofil, dinding sel terbuat dari selulosa atau polimer xylosa atau mannosa atau hemiselulosa. Sedangkan ciri-ciri khusus Scenedesmus itu sendiri sebagian anggota memiliki flagel -à dapat bergerak sedikit, bentuk flagel isokontae, jumlah dan letak sangat bervariasi (apikal, subapikal, lateral).
3. Scenedesmus dapat dibagi menjadi 10 divisi dan 8 divisi algae merupakan bentuk unicellulair. Dari 8 divisi algae, 6 divisi telah digunakan untuk keperluan budidaya perikanan sebagai pakan alami. Setiap divisi mempunyai karakteristik yang ikut memberikan andil pada kelompoknya, tetapi spesies-spesiesnya cukup memberikan perbedaan-perbedaan dari lainnya. Ada 4 karakteristik yang digunakan untuk membedakan divisi mikro algae yaitu ; tipe jaringan sel, ada tidaknya flagella, tipe komponen fotosintesa, dan jenis pigmen sel. Selain itu morfologi sel dan bagaimana sifat sel yang menempel berbentuk koloni / filamen adalah merupakan informasi penting didalam membedakan masing-masing group.
4. Scenedesmus dapat melakukan reproduksi aseksual maupun seksual. Reproduksi aseksual terjadi melalui pembentukan autokoloni, yaitu setiap sel induk membentuk koloni anakan yang dilepaskan melalui sel induk yang pecah terlebih dahulu. Beberapa spesies Scenedesmus dapat melakukan reproduksi seksual dengan pembentukan zoospora biflagel dan isogami.
5. Berperan sebagai produsen dalam ekosistem. Berbagai jenis alga yang hidup bebas di air terutama yang tubuhnya bersel satu dan dapat bergerak aktif merupakan penyusun pitoplankton. Sebagian fitolankton adalah alga hijau, pigmen klorofil yang dimilikinya aktif melakukan fotosintesis sehingga alga hijau merupakan produsen utama dalam ekosistem perairan. Peranan Scenedesmus bagi kehidupan manusia antara lain, digunakan dalam penyelidikan metabolisme di laboratorium. Juga dimanfaatkan sebagai bahan untuk obat-obatan, bahan kosmetik dan bahan makanan. Serbuk Chlorella dalam industri obat-obatan dimasukkan dalam kapsul dan dijual sebagai suplemen makanan dikenal dengan “Sun Chlorella”. Pengembangannya saat ini di kolam-kolam (contohnya di Pasuruan).
6. Pengaruh media perlakuan terhadap kerapatan sel Scenedesmus juga dibuktikan dengan uji statistik. Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap rerata kerapatan sel (log x) selama 10 hari pengamatan (Gambar 2) menunjukkan adanya pengaruh media perlakuan terhadap rerata kerapatan sel Scenedesmus. Hasil uji perbandingan berganda, menunjukkan perbedaan sangat nyata antara medium akuabides dengan MET 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, dan MBB. Perbedaan nyata terjadi antara MET 5% dengan MET 2% dan MET 1%, MET 1% dengan MET 2% dan MBB, MBB dengan MET 3%. Tidak terdapat perbedaan nyata antara MET 6% dengan MET 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, dan MBB; antara MET 5% dengan MET 3%, 4%, dan MBB; antara MET 1% dengan MET 3% dan MET 4%; antara MET 2% dengan MET 3%, MET 4%, dan MBB; antara MBB dengan MET 4%; serta antara MET 3% dengan MET 4%.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar