Senin, 04 April 2011

fisiologi udang windu

udang windu (Penaeus monodon)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di Indonesia, perikanan merupakan salah satu sumber devisa Negara yang sangat potensial. Pengembangan budidaya air payau di Indonesia untuk waktu yang akan datang sangat penting bagi pembangunan di sektor perikanan serta merupakan salah satu prioritas yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan di sektor perikanan.
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan komoditas unggulan Indonesia dalam upaya menghasilkan devisa negara dari eksport nonmigas. Berbagai upaya telah dilakukan dalam meningkatkan produksi udang windu. Salah satu diantaranya adalah penerapan sistem budidaya udang windu secara intensif yang dimulai sejak pertengahan tahun 1986.
Komoditas ini dikenal bernilai ekonomis tinggi dibanding beberapa komoditas lainnya, baik untuk konsumsi lokal maupun untuk pasar ekspor. Selain itu dipilihnya udang sebagai andalan utama penggaet devisa tentu beralasan. Alasan pertama, Indonesia memiliki luas lahan budidaya yang potensial untuk udang, yakni mencapai 866.550 hektar, sementara sampai tahun 1999 luas tambak yang dibangun baru mencapai 344.759 ha. Artinya, tingkat pemanfaatannya baru 39,7%. Sementara itu, potensi penangkapan udang di laut diperkirakan 74.000 ton/tahun dan telah dimanfaatkan sekitar 70.000 ton/tahun. Dengan demikian, tingkat pemanfaatan dari penangkapan di laut sudah mencapai 95% sehingga andalan utamanya adalah udang hasil budidaya di tambak. Dengan target produksi sekitar 2 juta ton udang per tahun. Seiring dengan semakin meningkatnya volume permintaan udang di pasaran internasional maka secara langsung akan mempengaruhi permintaan benur oleh para petani tambak.
Alasan kedua, secara umum Indonesia memiliki peluang yang sangat baik untuk memposisikan diri sebagai salah satu produsen dan eksportir utama produk perikanan, terutama udang. Kenyataan ini bertolak dari besarnya permintaan produk udang, baik di pasar domestik maupun pasar ekspor. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka pengembangan teknologi pembenihan udang perlu terus ditingkatkan. Menurunnya minat masyarakat akhir-akhir ini untuk mengembangkan komoditas unggulan ini disebabkan karena ketersediaan benih udang (post larva) yang belum memenuhi standar.
Untuk dapat mempelajari lebih lanjut cara pembudidayaan udang windu ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui anatomi, morfologi dan fisiologi udang windu. Maka dari itu penulis membuat paper ini dengan judul “ Fisiologi Udang Windu (Penaeus monodon)”.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan paper fisiologi hewan air ini adalah untuk dapat mengetahui lebih jelas tentang fisiologi udang windu (Penaeus monodon) yaitu pertumbuhan, sistem pencernaan, makanan dan kebiasaan makan, daur hidup dan reproduksi.
1.3 Batasan Masalah
Mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan, maka penulis membatasi masalah yang dibahas dalam paper ini adalah pertumbuhan, sistem pencernaan, makanan dan kebiasaan makan, daur hidup dan reproduksi udang windu (Penaeus monodon).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi
Secara umum terdapat beberapa jenis udang di Indonesia, dimana salah satu diantaranya yang dikenal oleh masyarakat adalah udang windu (Penaeus monodon). Martosudarmo dan Ranoemiharjo (1983), menyatakan bahwa udang windu dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Subfilum : Mandibulata
Klas : Crustacea
Sub klas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Natantia
Famili : Penaidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon
2.2 Morfologi Udang Windu
Secara garis besar, tubuh udang dapat dibagi atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada (cephalothorax), dan bagian tubuh sampai ke ekor (abdomen). Bagian kepala ditutupi sebuah kelopak kepala (Cerapace) yang di bagian ujungnya meruncing dan bergigi yang disebut dengan cucuk kepala (rostrum). Udang windu mempunyai rostrum yang memanjang melewati ujung dari antennular peduncle dengan rumus gigi rostrum 6-8 pada sisi atas (umumnya 7) dan sisi bawah 2-4 (umumnya 3), serta berbentuk signoid.
Semua tubuh terbagi atas ruas-ruas yang ditutupi oleh kerangka luar yang mengeras, terbuat dari Chitin. Di bagian kepala terdapat 13 ruas dan di bagian perut 6 ruas. Mulut terletak di bagian bawah kepala, diantara rahang-rahang (mandibula), dan di kanan kiri sisi kepala yang tertutup oleh kelopak kepala terdapat insang. Di bawah pangkal cucuk kepala terdapat mata majemuk bertangkai yang dapat digerak-gerakkan. Ukuran mata juga dapat dipakai untuk mengenal jenis udang pada tingkat Yuwana, dimana mata udang putih jauh lebih besar jika dibandingkan dengan mata udang windu.
Di bagian kepala terdapat beberapa anggota tubuh yang berpasang-pasangan, antara lain sungut kecil (antenulla), sirip kepala (scophocerit), sungut besar (antenna), rahang (mandibula), alat pembantu rahang (maxilla) yang terdiri atas dua pasang, dan maxilliped yang terdiri atas tiga pasang, serta kaki jalan (periopoda) yang terdiri atas lima pasang dimana tiga pasang di antaranya dilengkapi dengan jepitan yang disebut juga istilah Chela.
Pada bagian perut terdapat lima pasang kaki renang (Pleopoda) yang terletak di masing-masing ruas, sedangkan pada ruas keenam terdapat kaki renang yang telah berubah bentuk menjadi ekor kipas atau sirip ekor (uropoda) yang ujungnya embentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal ujung ekor terdaapt lubang dubur (anus).
Alat kelamin udang jantan yang disebut juga dengan petasma terletak di antara kaki renang pertama. Sedangkan alat kelamin udang betina (thelicum), terletak di antara pangkal kaki jalan ke-4 dan ke-5, dengan lubang saluran kelaminnya terletak di antara pangkal kaki ke tiga.
Pada waktu masih hidup warna carapace dan bagian tubuh bergaris-garis tebal melintang berwarna merah dan putih. Antena berwarna coklat keabu-abuan. Kaki jalan dan kaki renang berwarna coklat dan pinggirnya merah. Bila berada di tambak terutama yang dangkal, warnanya berubah menjadi coklat tua atau gelap dan sering berwarna kehitam-hitaman (Sudarmini dan Sulistiyono, 1988).
Gambar 1. Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon)
2.3 Daerah Penyebaran dan Habitatnya
Udang windu tersebar di sebagian besar daerah Indo-Pasifik Barat, Afrika Selatan, Tanzania, Kenya, Somalia, Madagaskar, Saudi Arabia, Oman, Pakistan, India, Bangladesh, Srilangka, Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Philipina, Hongkong, Taiwan, Korea, Jepang, Australia, dan Papua Nugini (Khairul Amri, 2003)
Pada umumnya udang windu terdapat di daerah antara 30o sampai 155o B.T. dan antara 35o L.U. sampai pada 35o L.S. Oleh karena itulah maka lokasi utama daerah penangkapan kebanyakan di daerah tropis, terutama di Indonesia, Malaysia dan Philipina.
Udang windu bersifat euryhaline yaitu toleran terhadap kisaran salinitas yang lebar dan menempati habitat yang berbeda dengan stadium dari daur hidupnya. benih udang, juvenile dan tokolan mempunyai kebiasaan tinggal dekat permukaan pada perairan daerah pantai dan di daerah estuarin hutan mangrove, sedangkan tingkat dewasa kelamin kebanyakan berada pada perairan yang kedalamanya sekitar 100-200 m. Larva yang mencapai daerah pantai biasanya berukuran sekitar 15 mm, akan tetapi kadang-kadang dijumpai yang berukuran lebih kecil, yakni sekitar 8 mm.di bawah ini gambar tentang siklus hidup udang windu.
Udang windu umumnya menyukai dasar perairan yang berpasir, lumpur berpasir atau lempung berdebu. Keuntungan yang diperoleh udang windu dengan hidup pada substrat yang berlumpur adalah bahwa pada substrat yang demikian makanan alami dapat tumbuh. Malam hari, sedang pada waktu siang hari umumnya mencari tempat berteduh atau bahkan membenamkan diri ke dalam lumpur bila intensitas cahaya mencapai 600 lux. Induk udang windu pada umumnya lebih menyukai substrat yang berlumpur pada kedalaman 10-40 m. Poernomo (1979) menerangkan bahwa udang windu akan lebih cepat tumbuh pada kedalaman lebih dari 100 cm dan salinitasnya sekitar 10-25 ppt.
BAB III
FISIOLOGI UDANG WINDU
3.1 Pertumbuhan
Udang akan tumbuh setelah ganti kulit (moulting). Kondisi udang pada saat tersebut lemah dan kulit dalam keadaan belum mengeras (Tricahyo, 1995). Boyd (1998), menyatakan bahwa selama proses moulting udang menyerap Kalsium dan Magnesium. Kandungan zat tersebut sangat dibutuhkan dalam jumlah yang tinggi. Pergantian kulit ini merupakan indikator terjadinya pertumbuhan. Selama udang berganti kulit biasanya udang tidak bernafsu makan, udang tidak banyak bergerak dan dalam kondisi yang lemah.
Ada 3 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pada Udang Windu, yaitu faktor fisika, faktor kimia dan faktor biologi.
3.1.1 Faktor Fisika
3.1.1.1 Suhu
Suhu kolam air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran air dan serta kedalaman air. Menurut Haslan (1995) dalam Effendi (2003), yang menyatakan bahwa peningkatan suhu dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, seperti O2, CO2, N2, CH4. Selain itu, peningkatan suhu perairan sebesar 100C akan menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh mikroorganisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat (Effendi, 2003)
Menurut Mulyanto (1992) menyatakan bahwa suhu merupakan salah satu faktor fisik yang amat penting. Suhu berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan udang. Menurut Darmono (1995), udang windu cocok pada suhu antara 20-300C. Lebih lanjut Mujiman dan Suyanto (1999), menyatakan suhu optimal untuk pemeliharaan udang windu adalah antara 28-300C. Suhu air dibawah 130C atau diatas 330C akan menyebabkan naiknya angka kematian hampir mencapai 90%.
3.1.1.2 Kecerahan
Menurut Mulyanto (1992), faktor yang menentukan kecerahan suatu perairan adalah cahaya dan partikel-partikel koloid serta jasad renik dalam perairan. Cahaya yang dimaksud adalah cahaya matahari. Cahaya yang jatuh ke kolom air sebagian dipantulkan dan sebagian lagi diteruskan ke dalam air.
Kecerahan air dipengaruhi oleh adanya bahan-bahan yang melayang dalam air, misalnya plankton, jasad renik, detritus, maupun lumpur dan pasir. Menurut Mujiman dan Suyanto (1999), bila kecerahan (angka secchi disk) menunjukkan 25-45 cm berarti cukup baik keadaanya. Akan tetapi bila kurang dari 25 cm, berarti fitoplankton terlalu padat, maka perlu adanya pergantian air 1/3 sampai ½ volume air dengan air yang bersih atau jernih.
3.1.2 Faktor Kimia
3.1.2.1 Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi semua ion-ion terlarut dalam air (chlorida, carbonat, dan bicarbonat, sulfat, natrium, calsium dan magnesium). Bagi pertumbuhan udang, salinitas ini sangat berpengaruh, walau udang windu bersifat euryhaline. Konsentrasi salinitas sangat berpengaruh terhadap proses osmoregolasi yaitu upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara tubuh dan lingkungannya. Jika kondisi salinitas berfluktuasi maka semakin banyak energi yang dibutuhkan untuk metabolisme. Metabolisme yang dilakukan merupakan bentuk adaptasi (Fujaya, 2004).
Menurut Darmono (1995), udang Windu dapat hidup pada salinitas di bawah 10‰ dan paling rendah dapat hidup pada salinitas 2‰. Sementara Mujiman dan Suyanto (1999), menyatakan bahwa udang Windu dapat hidup sampai 50‰ asalkan perubahan tersebut berlangsung secara bertahap. Umumnya organisme akuatik dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas dari yang tinggi sampai ke yang paling rendah, asalkan perubahan tersebut berlangsung secara perlahan-lahan (Mulyanto, 1992). Salinitas air yang optimal bagi udang Windu untuk hidup normal dan tumbuh baik ialah pada kisaran 15-30‰ (Darmono,1995). Dengan kondisi salinitas yang optimal ini udang dapat tumbuh dengan baik.
Kisaran salinitas yang rendah berbahaya karena dapat menurunkan oksigen, selain itu dapat menyebabkan tipisnya kulit udang. Salinitas yang tinggi (> 35) dapat menyebabkan pertumbuhan udang terhambat (BBPBAP Jepara, 2005). Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan sistem tandon yang tertutup agar salinitas tidak tercampur dari saluran umum, selain itu dilakukan pergantian air.
3.1.2.2 Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH suatu perairan akan dapat menunjukkan apakah air bereaksi asam atau basa. Besar kecilnya nilai pH akan berpengaruh terhadap interaksi dengan beberapa variabel seperti amoniak, hidrogen sulfida, klorin dan logam (Boyd,1998). Menurut Effendi (2004), yang menyatakan bahwa semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas.
Pada perairan laut karbondioksida terdapat dalam jumlah yang banyak, sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3) yang dihasilkan karena reaksi dengan H2O. Asam karbonat ini selanjutnya terdisosiasi menjadi ion hidrogen dan ion bikarbonat, kemudian ion bikarbonat terdisosiasi lagi menjadi ion hidrogen dan ion karbonat. Sistem karbondioksida-asam karbonat –ion bikarbonat merupakan sistem kimia yang komplek yang cenderung berada dalam keseimbangan (Nybaken, 1992). Hal inilah yang menyebabkan air laut bersifat buffer yaitu dapat mempertahankan pH dalam kisaran yang sempit antara 7,5-8,4.
Derajat keasaman yang baik untuk pemeliharaan udang windu berkisar antara pH 7,5 sampai 8,5 (Afrianto, 1991). Sedangkan menurut William (1988), pH yang baik mempunyai kisaran antara 8-9. Hal ini berbeda dengan pendapat Mujiman dan Suyanto (1999) bahwa kisaran yang baik bagi udang adalah 8,0-9,5.
3.1.2.3 Alkalinitas
Alkalinitas menggambarkan jumlah basa (alkaline) yang terkandung dalam air yang dapat ditentukan dengan titrasi asam kuat (H2SO4 atau HCl) sampai pH tertentu. Alkalinitas juga dapat diartikan sebagai Daya Menggabung Asam (DMA) yang artinya kemampuan air dalam menyerap asam. Garam-garam asam ini berasal dari kation dapat bereaksi dengan karboat (CO32-), bikarbonat (HCO3) atau hidroksil (OH-), daya mengapung garam basa ini berasal dari kation Ca++, Mg++, Na++, K+, NH4+, Fe2. Alkalinitas diukur dengan berdasarkan jumlah senyawa karbonat dan bikarbonat yang ada dalam air (Mulyanto,1992)
Fungsi dari alkalinitas dapat juga sebagai penetral asam, atau dikenal dengan sebutan acid-neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Alkalinitas juga dapat dikatakan sebagai buffer terhadap perubahan pH air. Satuan alkalinitas mg/l CaCO3. Nilai alkalinitas yang baik untuk udang berkisar antara 90-130 mg Ca/l (Taslihan et al, 2005).
3.1.2.4 Nitrit (NO2)
Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, nitrit banyak dijumpai diperairan alami jika perairan tersebut banyak pencemarnya (Boyd, 1998). Menurut Riyono et al., (1997), yang menyatakan bahwa senyawa nitrit yang terdapat dalam air merupakan hasil reduksi senyawa nitrat atau oksidasi amoniak oleh mikroorganisme. Menurut Boyd (1998), menyatakan bahwa nitrit merupakan bagian dari proses nitrifikasi yaitu dari amonium yang bereaksi dengan hidrogen akan menjadi nitrit, melalui bakteri Nitrosomonas dirubah menjadi nitrat. Selain bagian dari proses nitrifikasi, nitrit juga merupakan bagian dari proses denitrifikasi yaitu setelah nitrit menjadi nitrat dalam keadaan anaerob akan dirubah menjadi nitrit lagi oleh bakteri Nitrobacter.
Kadar nitrit dalam perairan untuk budidaya udang windu pada titik amannya sekitar 0,1 mg/l (Chamberlain,1988). Apabila melebihi ukuran tersebut pertumbuhan udang dapat terganggu bahkan udang yang kita budidayakan akan mengalami kematian. Salah satu dampak yang disebabkan oleh nitrit bila dalam keadaan pH rendah adalah teracuninya darah dalam tubuh biota atau sering disebut dengan penyakit darah coklat (Brown-blood desease). Kondisi ini terjadi bila pH rendah sehingga nitrit masuk dalam aliran darah, selanjutnya mengoksidasi besi (Fe) di dalam sel darah merah. Oksidasi ini menghasilkan methemoglobin yang dicirikan dengan warna coklat dalam darah. Jika konsentrasi methemoglobin melebihi 20% dari total sel darah merah akan menyebabkan penyakit darah coklat (Brown-blood desease) (Boyd, 1998).
3.1.2.5 Potensial redoks
Potensial redoks dapat dijadikan parameter kualitas sedimen. Menurut Taslihan et al., (2005), yang menyatakan bahwa nilai redok potensial paling baik untuk tanah dasar tambak adalah bernilai positif. Potensial redoks menggambarkan jumlah senyawa yang potensial teroksidasi atau tereduksi. Dalam prosesnya sangat tergantung pada oksigen yang terdapat dalam air atau tanah Boyd (1995). Menurunnya nilai redok berarti oksigen dalam air banyak dipakai sedimen dalam melakukan reduksi. Menurut Jaya dan Adiwijaya (1996), yang menyatakan bahwa nilai redok negatif menunjukkan banyak oksigen yang terserap oleh sedimen. Banyaknya oksigen yang terserap oleh sedimen menyebabkan perairan menjadi miskin akan oksigen.
Penentuan nilai redok tanah dasar dapat menggunakan redok potensiometer atau milivolmeter. Sedimen yang basah diambil dengan pvc core sampler, kemudian elektroda milivolmeter ditancapkan dalam lapisan tertentu pada sedimen yang ingin diukur (Utaminingsih et al., 1994)
3.1.2.6 Logam Berat
Terdapat 3 macam logam berat yang berpengaruh dalam budidaya udang antara lain; cadmium (Cd), merkuri (Hg) dan timbal (Pb). Logam berat dalam media budidaya udang dapat berpengaruh terhadap kesehatan udang itu sendiri dan bagi manusia yang mengkonsumsinya. Sebagai contoh cadmium pada konsentrasi 0,5-0,75 mg/l dalam air dapat menyebabkan nekrosa insang. Sedangkan untuk manusia dapat keracunan karena mengkonsumsi udang yang terkontaminasi oleh (Hg) (Darmono,1996).
Menurut Bryan (1984) dalam Darmono (1996), faktor yang mempengaruhi kekuatan racun logam berat terhadap udang dan organisme laut antara lain :
- bentuk ikatan kimia dari logam yang terlarut dalam air
- pengaruh interaksi diantara logam dan jenis racun lainnya
- pengaruh lingkungan seperti suhu, salinitas, pH, dan DO
- kemampuan hewan untuk menghindar dari kondisi buruk
- kemampuan hewan untuk beradaptasi dengan racun.
Logam berat adalah unsur logam yang mempunyai densitas > 5 g/cm3. Sebenarnya logam berat di alam dibutuhkan oleh biota untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Phillips, 1980 dalam Horas, 1997). Pencemaran yang disebabkan oleh manusia menyebabkan kadar logam berat menjadi tinggi, sehingga kadar logam berat yang semula sangat bermanfaat bagi organisme hidup menjadi berbahaya manakala kadarnya tinggi (Horas, 1997)
3.1.3 Faktor Biologi
3.1.3.1 Plankton
Plankton dalam perikanan sangat penting karena merupkan pakan alami bagi biota yang dipelihara dan penghasil oksigen. Menurut Mulyanto (1992), yang menyatakan bahwa plankton dibagi menjadi dua bagian yaitu fitoplankton dan zooplankton.
Fitoplankton yang terdapat dalam tambak udang merupakan pengaruh dari penyuburan atau proses pemupukan. Menurut Boyd (1998), ada beberapa jenis phytoplankton yang berbahaya bagi kehidupan biota pemeliharaan. Fitoplankton tersebut antara lain ; prymnesiophytes, blue-green algae, dinoflagellates, diatoms dan chloromonads. Sedangkan menurut Mulyanto (1992), fitoplankton yang berbahaya bagi biota pemeliharaan antara lain ; Gymnodinium brevis, Gonyaulax xantanella, dan Microcystis.
Zooplankton atau plankton yang bersifat hewani adalah plankton yang tidak mempunyai klorofil dalam tubuhnya (Mulyanto, 1992). Menurut Mclntire dan Bond (1962) dalam Boyd, (1998), yang menyatakan bahwa dalam kolam yang subur maupun tidak subur didominasi zooplankton jenis krustase kecil (microcrustaceans) dan rotifer. Golongan microcrustacean antara lain ; Bosmina, Cyclops, Chydorus, dan Dhiaphanosoma. Untuk golongan rotifer antara lain Polyarthra, Keratella dan Brachionus.
Plankton dalam hal ini fitoplankton berpengaruh terhadap kualitas air. Salah satu contoh adalah DO, DO dapat tersuplai pada siang hari melalui proses fotosintesis, sedangkan pada malam hari terjadi penurunan kadar DO yang disebabkan oleh proses respirasi (Effendi, 2003). Oleh sebab itu kepadatan populasi fitoplankton perlu dikontrol agar terjadi keseimbangan dampak yang diakibatkan.
3.1.3.2 Bakteri
Penyakit dalam budidaya udang dapat disebabkan oleh mikroba, protozoa, cacing parasit dan beberapa penyebab yang lainnya. Salah satu contoh penyebab penyakit yang disebabkan oleh mikroba adalah bakteri. Bakteri yang menyerang badan dan darah udang akan menyebabkan aktivitas yang abnormal dan pertumbuhan yang lambat ( Jhonson, 1978 dalam William, 1988). Lebih lanjut Astuti (2004), yang menyatakan bahwa bakteri penyebab penyakit pada budidaya udang di tambak sebagian besar didominasi oleh genus Vibrio sp. dengan kepadatan total sekitar 104 cfu/ml.
Terdapat beberapa contoh penyakit yang disebabkan oleh bakteri antara lain ; insang hitam dan ekor busuk. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan perlakuan dengan pemberian obat K-3 Mycin 2 kg/ha untuk 2-3 hari barturut-turut, bubuk antoks 1 kg/ha selama 5 hari berturut-turut. Langkah selanjutnya yaitu dengan melakukan pergantian air sekitar 30-50%, kemudian pemberian 250 kg/ha Daimetin setelah pemberian obat-obatan tersebut diatas (William,1988)
Tidak semua bakteri dapat merugikan bagi kehidupan khususnya di bidang akuakultur. Bakteri juga dapat digunakan sebagai probiotik. Menurut Irianto (2003), bahwa dalam akuakultur probiotik dapat berasal dari bakteri, yeast, mikroalgae serta bakteriofage. Dalam kegiatan pembesaran udang, peran bakteri tidak langsung terhadap biota yang dipelihara, melainkan bakteri digunakan dalam memperbaiki lingkungan yang rusak atau tercemar (bioremidiasi). Salah satu bentuk pemanfaatan bakteri dalam probiotik adalah penggunaan bakteri fotosintetik anoksigenik (BFA). Bakteri kelompok ini dapat memanfaatkan senyawa organik maupun anorganik dalam proses fotosintesis sebagai donor elektronnya, misalnya H2S sehingga akan dihasilkan sulfur atau bukan oksigen sebagai hasil sampingnya (Atlas dan Bartha, 1998; Brock dan Madigan, 1991 dalam Widiyanto, 2001). Proses ini biasanya terjadi pada perairan yang masih terdapat sinar matahari dan terdapat CO2.
CO2 + H2S cahaya (CH2O) + H2O + 2 S
Pada reaksi diatas dapat dilihat bahwa dengan pemanfaatan bakteri kelompok BFA dapat membantu dalam memperbaiki kualitas air yaitu terurainya H2S gas beracun. Salah satu jenis bakteri kelompok BFA adalah Rhodobakter sp.
3.2 Sistem Pencernaan, Makanan dan Kebiasaan Makan Udang Windu
Udang windu memiliki sistem pencernaan yang relatif sederhana. Saluran pencernaan udang windu terdiri atas mulut, oesophagus, perut, usus, dan anus. Pada bagian mulut udang dilengkapi dengan sepasang mandibula yang berfungsi sebagai penghancur makanan, serta maxilla 1-2, maxilliped 1-2 dan 3 yang semuanya berfungsi untuk memegang dan menseleksi makanan.
Oesophagus pada udang umumnya pendek dan tidak banyak tegak lurus dengan proventriculus. Pada bagian dalam proventriculus dilengkapi dengan lapisan chitin. Proventriculus terdiri dari dua ruangan yang dipisahkan oleh cardiac ossicle yang juga berfungsi sebagai tempat penghancuran makanan. Dari proventriculus makanan melewati usus dan disini mengalami penyerapan sari-sari makanan. Sisa-sisa makanan selanjutnya dibuang melalui anus.
Makanan udang windu terdiri dari jenis Crustacea tingkat rendah (kepiting dan udang kecil) dan molusca sekitar 85%. Sisanya terdiri dari anelida 15 % yang terdapat pada saluran pencernaan makanannya. Udang windu melebihi predator makro invertebrata dasar yang bergerak lambat dari pada mengaduk sampah atau berkesempatan dalam kebiasaan mencari makan. Kebiasaan makan timbul pada saat pasang datang (Marte ,1978)
Udang bersifat omnivora, juga pemakan detritus dan sisa-sisa organik lainnya, baik nabati maupun hewani. Berdasarkan penelitian, di alam udang memang mempunyai sifat pemakan segala. Kalau diperhatikan makanan udang windu dapat berbeda-beda berdasarkan ukuran dan tingkatan dari udang itu sendiri, yaitu :
1) Tingkat Nauplius, belum memerlukan makanan dari luar, karena masih mempunyai kantong kuning telur.
2) Tingkat Zoea, sudah mulai memakan plankton, karena saluran makanan telah berkembang sempurna.
3) Tingkat Mysis, mulai menggemari makan zooplankton dan mulai bersifat carnivora.
4) Tingkat Post larva, sifatnya sudah mulai senang tinggal di dasar media tempat hidupnya dan masih senang memakan detritus serta sisa-sisa mikroorganisme yang terdapat di dasar perairan.
Di alam umumnya udang aktif bergerak mencari makan pada malam hari, oleh karena itu maka udang dimasukkan dalam kelompok hewan Nocturnal. Aktivitas makan dan jenis makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan udang windu. Menurut Aquacop (1977) nutrisi yang tidak baik mencegah pematangan gonada udang, dan juga mungkin mempengaruhi kemampuan hidup lama. Iriana (1975) mengemukakan bahwa aktivitas udang windu dipengaruhi oleh intensitas cahaya, menurut hasil penelitian Apud et al (1980) diketahui bahwa hampir setiap saat udang windu memakan makanan yang diberikan. Akan tetapi makannya akan meningkat sejalan dengan menurunnya intensitas cahaya. Aktifitas makan udang windu dewasa yang paling tinggi terjadi pada malam hari sekitar pukul 19.00.
3.3 Daur Hidup
Udang windu mempunyai tekanan osmotik yang berbeda dengan lingkungannya, oleh karena itu udang harus mencegah kelebihan air atau kekurangan air, agar proses-proses fisiologis didalam tubuhnya dapat berlangsung dengan normal.
Daya tahan hidup organisme dipengaruhi oleh keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dengan air (media) lingkungan hidupnya. Pengaturan osmotik itu dilakukan melalui mekanisme osmoregulasi. Mekanisme ini dapat dinyatakan sebagai pengaturan keseimbangan total konsentrasi eklektrolit yang terlarut dalarn air media hidup organisme. Osmoregulasi ini erat kaitannya dengan daur hidup udang windu tersebut.
Udang Windu memiliki dua lingkungan dalam daur hidupnya yakni laut dan estuary (muara sungai).
3.3.1 Lingkungan Laut :
Lingkungan laut merupakan daerah dimana udang windu malakukan perkembangbiakan. Menurut Tricahyo (1995), fase daur hidup udang windu secara berurutan meliputi ; embrio, larva, juwana, juwana akhir, dewasa awal dan udang dewasa (Tabel1) yang habitatnya meliputi out littoral, estuarin sampai ke out littoral lagi (Gambar 2) .
Tabel 1. Fase daur hidup udang windu (Tricahyo, 1995)
Fase
Dimulai dari
Waktu
Panjang Karapas (mm) Jantan Betina
Sifat Hidup
Habitat
1
2
3
4
5
6
Embrio
Pembuahan
12 jam
0,92
Planktonis
Outer littoral
Larva
Penetasan
20 hari
0,5 2,2
Planktonis
Out/iner littoral
Juwana
Perlengkapan sistem insang
15 hari
2,2 11,0
Bentis
Estuarine
Juwana akhir
Berkembangnya alat kelamin luar
4 bulan
11-30 11-37
Bentis
Estuarine
Dewasa awal (muda)
Kematangan seksual awal
4 bulan
30-37 37-47
Bentis
Iner/outer littoral
Udang Dewasa
Kematangan seksual yang sudah siap untuk memijah
10 bulan
37-71 47-81
Bentis
Outer littoral
Udang windu dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk dari telur hingga dewasa. Udang yang akan melakukan perkembangbiakan biasanya mengalami moulting untuk induk betina. Setelah mengalami moulting pemijahan terjadi pada dasar laut berpasir dan berlumpur dengan kedalaman 10-40 meter dan salinitas berkisar 35 ‰. Menurut Darmono (1995), udang biasanya bertelur pada malam hari. Telur yang terbuahi diletakkan di atas dasar laut dan melayang-layang terbawa arus.
Telur yang melayang tersebut dalam waktu 10-15 jam akan menjadi larva udang pada stadia pertama atau nauplius (Tricahyo,1995). Stadia nauplius akan mengalami enam tingkatan sebelum menjadi protozoea. Nauplius dalam perkembangannya masih belum membutuhkan makanan. Stadia protozoea merupakan stadia yang paling kritis karena harus memulai mencari makanan sendiri. Dalam perkembangannya protozoea mempunyai tiga stadia sebelum menjadi mysis. Stadia mysis mempunyai tiga tingkatan sebelum bermetamorfosa menjadi post larva. Secara planktonik pada stadia ini udang akan terbawa ke pantai atau muara sungai.



Gambar 2. Daur hidup udang windu (Tricahyo,1995)
3.3.2 Lingkungan di muara sungai
Stadia post larva udang akan merayap dan menempel pada perairan di daerah muara sungai atau estuarine (Tricahyo, 1995). Menurut Darmono (1995), yang menyatakan bahwa udang pada stadia ini disebut dengan Juvenil, pada stadia ini udang bermigrasi ke arah muara sungai. Di daerah estuarine ini banyak dijumpai udang post larva karena kaya akan makanan dan sebagai tempat berlindung. Larva udang akan beradaptasi dengan salinitas yang bervariasi dari 4-35 ‰.
Udang windu untuk mencapai stadia yuwana melewati 14 tingkatan dengan 18-22 berganti kulit (moulting). Udang dewasa ini kemudian akan kembali ke laut untuk tumbuh dewasa dan memijah. Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan dari menetas sampai stadia post larva diperlukan waktu satu bulan, dari post larva menjadi juwana diperlukan waktu sekitar 3-4 bulan, sedangkan dari stadia yuwana untuk menjadi udang dewasa diperlukan waktu sampai delapan bulan.
3.4 Reproduksi
Toro dan Soegiarto (1979) mengemukakan bahwa udang penaeid termasuk hewan yang heteroseksual, yaitu mempunyai jenis kelamin jantan dan betina yang masing-masing terpisah . Perkawinan udang terjadi di laut bebas. Udang jantan biasanya lebih agresif dibanding betina, perkawinan terjadi setelah betina mengganti kulit (moulting), udang jantan tertarik kepada betina karena adanya hormon ektokrin yang keluar secara eksternal yaitu pada saat telur dikeluarkan melaluai saluran telur (oviduk).
Tingkah laku waktu udang melakukan perkawinan menurut Primavera (1979) adalah sebagai berikut :
1) Fase pertama, udang jantan di bawah yang betina berenang sejajar dari dasar sampai ketinggian 20-30 cm.
2) Fase kedua, udang jantan membalik menghadap ke bagian bawah (ventral) yang betina.
3) Fase ketiga, kemudian udang jantan membalikkan tubuhnya lagi secara tegak lurus terhadap tubuh udang betina, dan melengkungkan tubuhnya melingkari yang betina. Kepala dan ekornya secara serempak bertemu dan menjepit tubuh udang betina. Kepala dan ekornya secara serempak bertemu dan menjepit tubuh udang betina dengan eratnya. Kemudian melepaskan diri dari udang betina dan berenang menjauh.
Perkembangan dan penggabungan bagian ventral sampai pada penyentakan kepala dan ekor berlangsung sangat cepat, hanya memerlukan waktu beberapa detik saja. Keseluruhan proses awal sampai akhir berlangsung 0,5-3,0 jam. Tadi telah dikemukakan bahwa perkawinan udang berlangsung pada malam hari setelah udang betina ganti kulit (moulting). Sesaat setelah ganti kulit dan telah kuat untuk berenang kembali, maka udang betina akan diikuti oleh satu atau beberapa udang jantan. Perkawinan harus disertai dengan kontak antara sisi bawah udang jantan dan betina. Kantong sperma yang dilepaskan, kemudian disalurkan melalui petasma ke thelicum udang betina. Pelepasan dan pemasukan kantong sperma terjadi pada waktu udang jantan membalik menghadap peroendikular (penutup thelicum) udang betina (Sudarmini dan Sulistiyono, 1988).
Martidjo (2003) menyatakan udang windu memiliki lima tingkat kematangan gonad. Selangkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Tingkat kematangan gonad
Kematangan Gonad
Ciri - Ciri
TKG I
Merupakan tingkat belum matang, ovari (kandungan telur) tipis, bening tidak berwarna dan terdapat pada abdomen.
TKG II
Merupakn tingkat kematangan awal, ovari membesar, bagian depan dan tengah mengembang.
TKG III
Merupakan tingkat kematangan lanjutan, ovari berwarna hijau muda, dapat dilihat dari eksoskeleton, bagian depan dan tengah berkembang penuh.
TKG IV
Tingkat keempat matang telur, ovari berwarna hijau tua, ovari lebih besar.
TKG V
Telur sudah dilepaskan (spent)
Pemijahan di alam terjadi sepanjang tahun dengan puncak-puncak tertentu pada awal dan akhir musim penghujan. Penurunan kadar garam pada awal dan kenaikan pada akhir musim penghujan dibarengi dengan perubahan suhu yang mendadak diduga memberi rangsangan pada induk yang matang telur untuk memijah. Pada saat inilah benur dapat ditangkap pada jumlah yang besar. Sedangkan pada pembenihan buatan prinsipnya diperlukan induk betina matang telur yang sudah dikawini oleh udang jantan di dalam bak peneluran atau didalam bak larva. Langkah berikutnya adalah menetaskan telur dan memelihara larva dari hasil tetasan tersebut sampai mencapai tingkat post larva umur 5-10 hari (Prawidihardjo et al. dalam Poernomo, 1976).
Telur yang telah dibuahi menetas menjadi nauplius berukuran 0,31-0,33 mm dan pada stadia ini terjadi pergantian kulit sebanyak 6 kali. Zoea dengan bentuk badan lurus ukuran 1,2-2,5 mm, mysis berukuran 3,5-4,56 mm dan post larva berukuran 5 mm (Poernomo, 1976).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.1.1 Pergantian kulit merupakan indikator terjadinya pertumbuhan. Ada 3 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pada Udang Windu, yaitu faktor fisika, faktor kimia dan faktor biologi.
4.1.2 Udang windu memiliki sistem pencernaan yang relatif sederhana. Saluran pencernaan udang windu terdiri atas mulut, oesophagus, perut, usus, dan anus. Udang bersifat omnivora, yaitu pemakan detritus dan sisa-sisa organik lainnya, baik nabati maupun hewani. Makanan udang windu dapat berbeda-beda berdasarkan ukuran dan tingkatan dari udang itu sendiri, Di alam umumnya udang aktif bergerak mencari makan pada malam hari, oleh karena itu maka udang dimasukkan dalam kelompok hewan Nocturnal.
4.1.3 Daya tahan hidup organisme dipengaruhi oleh keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dengan air (media) lingkungan hidupnya. Pengaturan osmotik itu dilakukan melalui mekanisme osmoregulasi. Osmoregulasi ini erat kaitannya dengan daur hidup udang windu tersebut. Udang Windu memiliki dua lingkungan dalam daur hidupnya yakni laut dan estuary (muara sungai).
4.1.4 Udang penaeid termasuk hewan yang heteroseksual, yaitu mempunyai jenis kelamin jantan dan betina yang masing-masing terpisah. Perkawinan udang berlangsung pada malam hari setelah udang betina ganti kulit (moulting). Sesaat setelah ganti kulit dan telah kuat untuk berenang kembali, maka udang betina akan diikuti oleh satu atau beberapa udang jantan. Perkawinan harus disertai dengan kontak antara sisi bawah udang jantan dan betina.
4.2 Saran
Diharapkan kepada penulis lain yang akan membahas materi ini untuk memakai literatur yang lebih banyak agar mendapatkan hasil yang lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Darmono. 1995. Budidaya Udang Penaeus. Kanisius 1991.
http://118.98.213.22/choirul/how/i/ikan/udang_windu.HTM
http://lamadiaquaculture.blogspot.com/2009/11/pembenihan-udang-windu-penaeus-monodon.html
http://www.musida.web.id/?q=indo/mengapa-ikan-perlu-melakukan-osmoregulasi
Poernomo, A.1979. Usaha Mini Hatchery dan Pertokolan Udang Windu, FaktorPendukung Strategis bagi Keberhasilan Budidaya Udang Pola Sederhana. Puslitbangkan. Jakarta.34 hal.
Sudarmini, E dan B. Sulistiyono, 1988. Biologi Udang Windu dan Perkembangannya. Balai Budidaya Air Payau Jepara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar